Mendengar jawaban orang musyrik yang
demikian itu, Nabi Muhammad sebagai pembawa akidah tauhid, tidak marah
dan tidak pula merasa tersinggung. Beliau cukup memaklumi, seorang
musyrik bertuhan banyak. Kemudian beliau melanjutkan pertanyaannya,
”Kalau dalam keadaan genting, tuhan yang mana yang Anda panggil?”
Hushein menjawab, ”Yang di langit.”
Maka, bila kita berada di tengah masyarakat yang heterogen dengan berbagai keyakinan dan kepercayaan agamanya, kita tidak perlu merasa tersinggung kalau ada orang berbeda pandangan dengan kita. Tidak usah tersinggung bila ada pihak yang berbeda keyakinan dengan kita. Rasulullah tidak melecehkan keyakinan mereka sebagaimana Beliau pun tak ingin jika akidahnya dilecehkan.
Muhammad harus datang ke tempat mereka untuk mengikuti peribadatan mereka. Beliau menolak mentah-mentah gagasan tersebut dengan mengatakan salah satu cuplikan Alquran surat Al-Kafirun, ”Lakum diinukum waliya diin, bagimu agamamu dan bagiku agamaku.”
Dalam urusan akidah, sama seperti Rasulullah, maka kita harus fanatik; meyakini dan membela agama yang dianutnya. Wajar-wajar saja kalau orang itu fanatik terhadap keyakinannya.
Rasulullah SAW secara tersirat
mengajarkan pada kita makna kerukunan beragama, bukan berarti
mencampuradukkan ajaran aneka agama. Kerukunan antarumat beragama adalah
setiap orang bisa hidup rukun bersama-sama dalam satu masyarakat.
Namun, mereka tetap teguh pada keyakinan masing-masing dan menghormati
keyakinan orang lain. Begitu semestinya tatanan dalam masyarakat yang
heterogen. Wallahu a’lam bish-shawab.
Oleh Aceng Karimullah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar